Reinkarnasi

“Aku sayang kamu.”

Tak terhitung lagi ini kali keberapa aku mengatakannya sambil menatap dalam matamu dan menikmati debaran aneh dadaku. Senyum. Hanya itu balasan yang selalu ku dapat darimu, sahabat kecilku.

Kemarin aku telah menelponmu, membuat janji.
Dan hari ini aku sibuk, sibuk mengeluarkan isi lemariku, memilah baju untuk ku kenakan nanti. Istimewa. Setelah sekian lama akhirnya ku beranikan diri memilih hari ini untuk melampiaskan semuanya, ya semua. Semua rasa yang tumbuh subur karena kuberi pupuk tokcer sejak kecil, semua debaran yang menggalaukan malamku. Kamu memang sahabat kecilku pengisi ruang hatiku.

Hari ini kupilih setelah kau mengatakan padaku tentang kecemasanmu pada hubungan yang kau jalani bersamanya, kekasihmu. Setelah kau bercerita tentang keinginanmu yang masih diabaikan olehnya. Aku memang selalu mendengarkan keluhmu, menjadi sandaran ketika rapuh, dan menyediakan tissue untuk tangismu walau saat bahagia kau memilih untuk bersamanya. Bukan maksud hati untuk menyalip atau menyambar kesempatan dibalik dukamu tapi entah mengapa hati ini mengatakan bahwa INILAH SAATNYA. Hanya untuk sekedar mengungkap, semua hasilnya kuserahkan padamu, pun kalau kau tak berkenan menjawabnya. Itu pilihanmu.

Nyaris sejam aku mondar mandir didepan cermin, memastikan penampilan ku. Waktu yang tidak sedikit untuk seorang pria “berdandan” , baru kali ini aku rusuh tentang penampilan hanya untuk terlihat beda dimatamu untuk hari ini saja, sahabat kecilku. Kuputuskan mengenakan kemeja merah yang kamu sukai. Jelas diingatan ketika kau bilang “Entah kenapa kau terlihat cakep mengenakan kemeja itu,boy..” aahh, kata itu membuatku galau semalaman. Kupikir lagi, apa yang kurang untuk membuat hari ini sempurna bersamamu. Bunga. Sejam sebelum waktu bertemuku denganmu ku sempatkan ke toko bunga, membeli beberapa tangkai untukmu.

Pakaian sudah pas, wangi pula. Bunga telah ditangan. Kini aku berjalan menuju tempat yang telah kita sepakati sambil mengingat kata-kata yang telah kususun rapi. Tersenyum dan tak mempedulikan apapun selain beberapa kata itu. Dan tiba-tiba.. “TEEEEETTTTT…. BRUUK !”
Aaaahhh, bencinya aku dengan adegan ini. Adegan menggelikan di beberapa Roman picisan. Adegan membosankan di sinetron yang sering ditonton ibuku. Seketika kaki ku lemas tak kuat menopang badanku. Pikiran kosong, entah kemana hilangnya semua kata yang telah ku susun. Gelap. Hanya suara riuh yang kudengar, tak jelas juga karena terlalu banyak orang yang berbicara. Mulai terlihat sinar, perlahan ku buka mataku. Redup, suram. Terdengar suara-suara “Dia sadar, dia sadar, syukurlah..”

Kucoba untuk berdiri dengan cairan yang tetap mengalir dikepalaku dan “BRUUK”. Lagi. Aku tumbang lemah tanpa daya. Oh Tuhan, janjiku, sahabat kecilku, bagaimana ini? Bunga itu tak nampak indah lagi, seperti sampah tanpa guna, terinjak-injak oleh kerumunan manusia. Aku pasrah.

Sudah berapa lama ku nikmati kegelapan. Hampa. Dengan beban diatas kepalaku bertuliskan nama lengkapku Indra pratama bin Moh. Soleh dan tanggal, entah apa itu.

Kini aku senang, perlahan mulai kutemukan sinar.

“Mas, anak kita..”
“Iya, kamu istirahat dulu..”

Ku kenali suara itu, sangat kenal. Suaramu, sahabat kecilku. Dan kekasihnya. Kembali, kucoba untuk berdiri dengan kondisi lemas, kaki ku tak kuat menopang badanku, kepalaku tak kuat ku angkat hingga akhirnya “BRUUK”. De javu. Ini pernah ku alami beberapa waktu lalu.

 

tertulis dini hari, Maret 2011
~icha chidot~