Menyesakkan saja!

“Kau tidak pernah bercerita tentang seseorang yang memikat hatimu,” katamu tiba-tiba.

“Kau tidak pernah menanyakannya, bukan?”

“Saya pikir kau tidak pernah terpikat dengan perempuan manapun, tidak pernah saya mendengarmu memuji satu perempuan pun.”

“Lantas, kenapa sekarang kau ingin tahu?”

“Saya hanya penasaran, ketika lelaki seusiamu pada umumnya sedang gemar memuji banyak perempuan, menggoda sana menggoda sini, mendekati yang ini dan yang itu, kau masih saja sibuk dengan dirimu sendiri, menikmati duniamu saja.”

“Kau lupa yaa, saya bukan lelaki pada umumnya.”

“Jadi, kau tidak tertarik pada lawan jenis?”

“Hey! Sembarangan yaa..”

“Hahaha. Tidak pernahkah ada satu perempuan yang menarik perhatianmu?” Kau menopang dagu sambil menatapku lekat. Tatapan itu, tepat di mataku. Mata berbinar yang sering saya nikmati diam-diam kini sedang tertuju padaku.

“Tidak, jika semua perempuan sepertimu; aneh dan menyebalkan.” Saya tertawa lalu segera beranjak dari kursi, mengusap lembut kepalamu kemudian meninggalkanmu dengan wajah yang berubah cemberut. Bahkan dengan wajah yang seperti itu binar matamu tidak pudar, hanya saja ia memang tidak cocok dipadukan dengan wajah cemberut, membuat dada saya terasa ngilu.

Ada sesuatu yang bertengkar dalam dada ketika kita bertemu. Menyesakkan saja!

Sungguminasa, 26 Juli 2015

-Chaa Chidot-

Pinggiran rel kereta, pohon beringin, dan ceritanya

“Kenapa di tempat ini?”

Kau hanya tersenyum mendengar pertanyaan saya yang entah sudah berapa kali terlontar. Barangkali bagi kau, pertanyaan itu terlalu konyol untuk sebuah jawaban.

Ini bukan kali pertama kau mengajak saya bertemu di sini, tempat yang menyimpan banyak kenangan. Di sini saya dan kau menciptakan banyak angan, menuliskannya pada buku bersampul biru agak tebal bergambar pesawat yang kau beli di toko buku kecil depan sekolah. Katamu, kau terpaksa tidak jajan selama tiga hari demi membeli buku itu.

Hari ini pertemuan kita yang ketujuh setelah kepindahanmu. Pada pertemuan yang pertama kau memilih pinggiran rel kereta dengan alasan itu adalah tempat terakhir yang kau kunjungi sebelum pindah. Saya baru tahu kau sering berkunjung ke tempat itu jika sedang ingin menikmati kesendirian. Katamu, menyenangkan menikmati senja di sana. Tapi tidak bagi saya yang tidak biasa berada di tempat itu. Berada di bawah pohon beringin dengan angin yang tidak begitu kencang, langit yang perlahan menghitam dalam sunyi membangkitkan bulu kuduk.

Berikutnya saya meminta untuk tidak bertemu di tempat itu lagi.

“Tempat itu terlalu jauh dari rumah saya.” kata saya.

Alasan yang menurutmu konyol mengingat saya yang suka traveling. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya kau memilih bertemu di sekolah dasar tempat kita berkenalan dulu. Saya menyetujui kemudian menyudahi perbincangan via telepon itu.

###

“Pertemuan keenam kita di tempat yang sama.”

“Akan saya ceritakan sesuatu. Kau mau mendengarnya?”

“Alasan kepindahanmu? Kenapa kau tak pernah mau menceritakannya pada saya? Kau juga tak pernah memberi tahu pada saya alamatmu yang sekarang. Kau tahu, bertahun-tahun saya mencarimu.  Cepat ceritakan!”

Kau kaget melihat saya yang tetiba ngotot dan memaksamu bercerita. Kau juga terlihat heran karena saya sudah tahu apa yang ingin kau ceritakan tapi begitulah saya. Saya mengenalmu sudah cukup lama, saya bisa membaca rona wajahmu, saya bisa tahu kegelisahanmu, kau sudah lebih dari sekedar sahabat bagi saya.

Kau menarik tangan saya, berlari memasuki ruang kelas empat. Saya ingat, dulu saya pernah berkelahi di sini, kau menangis di sudut kelas melihat kejadian itu. Kakak-kakak kelas itu berani mengganggumu Baca lebih lanjut